-
Published: 29 November 2020
-
Last Updated: 03 December 2020
Cibinong, Humas LIPI. Tak butuh proses panjang bagi Ayu Savitri Nurinsiyah, Peneliti Moluska pada Pusat Penelitian Biologi (P2B) LIPI untuk didapuk menjadi Ketua Masyarakat Moluska Indonesia (MMI) tahun 2020. ”Proses pemilihan ketua dan sekjen MMI dilakukan pada pertemuan anggota MMI tanggal 15 Oktober 2020. Saat itu saya menjadi salah satu kandidat sebagai ketua/sekjen MMI dan mendapat suara terbanyak”, ungkap Doktor Jurusan Biologi, Fakultas Matematika, Ilmu Komputer dan Ilmu Pengetahuan Alam jebolan Universität Hamburg, Jerman tersebut.
MMI sendiri resmi berdiri sejak Februari 2009. Dalam sambutannya sebagai Ketua MMI yang baru pada Kongres Nasional MMI pada Sabtu (28/11), perempuan yang akrab dipanggil Ayu berharap MMI dapat menjadi wadah untuk bertukar informasi dan kompetensi mengenai moluska terutama di Indonesia. Seluruh sumberdaya MMI dapat berperan aktif untuk mendukung kebijakan pemerintah maupun masyarakat secara luas dalam upaya konservasi dan pemanfaatan moluska yang berkelanjutan.
Tak hanya itu, dalam agenda kongres ini pula salah satu Peneliti Biologi LIPI yang telah purna tugas yaitu (Almarhum) Bapak Machfudz Djajasasmita ditetapkan sebagai Bapak Moluska Indonesia. “Beliau mendapat apresiasi atas jasanya yang telah banyak menginspirasi para penggiat moluska (malacologist) Indonesia dengan berbagai penelitian, publikasi dan temuannya tentang moluska Indonesia. Beliau dikenal sebagai malakologis pertama Indonesia yang mendeskripsi moluska Indonesia. Tiga species dan dua subspecies Moluska telah beliau temukan. Amphidromus djajasasmitai Dharma adalah satu spesies keong darat yang dinamai dan dipublikasi pada tahun 1993 sebagai bentuk penghargaan (tribute) kepada beliau. Almarhum mengawali karirnya di Museum Zoologicum Bogoriense pada tahun 1955 dan bertugas mengelola koleksi moluska dan menggantikan kurator Belanda L.J.M. Butot. Selanjutnya pada tahun 1994 pensiun dan menjadi Manager Museum Serangga di TMII,” ungkap Ayu.
Ayu saat ini menduduki jenjang Peneliti Muda di LIPI. Ia memfokuskan diri pada riset sistematika keong darat dan keanekaragaman hayatinya di kawasan ekosistem esensial seperti karst Indonesia. Selain itu, bersama dengan beberapa peneliti LIPI lainnya Ayu sedang melakukan penelitian tentang karakterisasi potensi fauna Indonesia dengan spesifikasi kajian lendir keong darat.
Perempuan kelahiran 1986 ini merasa keaktifannya di MMI dapat menambah jejaring dalam dunia moluska Indonesia. “Banyak hal yang dapat saya ketahui dan memudahkan komunikasi dengan peneliti, akademisi, dan praktisi yang bergerak dan memiliki interest di bidang moluska serta penelitian yang sedang dilakukan,” ujar Ayu.
Bagi perempuan yang pernah mendapat penghargaan dari L’Oreal-UNESCO for Woman in Science – National Fellowship, Indonesia (2019) ini, keberadaan MMI dapat menjadi salah satu kolaborator penting bagi LIPI. “Banyak peneliti LIPI terlibat aktif di MMI antara lain Ristiyanti M. Marwoto, Peneliti Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI merupakan salah satu founders (pendiri) Masyarakat Moluska Indonesia pada tahun 2009. Selain itu, beliau juga pernah terpilih menjadi Sekretaris Jenderal pada periode pertama MMI. Ayu juga menambahkan pada periode 2020-2022 ini terdapat lima peneliti LIPI yang tergabung di dalam kepengurusan, antara lain Ucu Yanu Arbi dari Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) sebagai Koordinator database moluska Indonesia; Nur Rohmatin Isnaningsih dari P2B sebagai anggota tim database moluska Indonesia; Nova Mujiono dari P2B dan Putri Sapira Ibrahim (P2O) yang bergabung di dalam kepengurusan Jurnal Moluska Indonesia, dan Raismin Kotta (BBIL) yang bergabung di dalam kepengurusan keanggotaan dan jejaring MMI.
“MMI tergabung dengan banyak instansi, sehingga kolaborasi riset bisa lebih luas. Otomatis penelitian tentang moluska Indonesia tidak lagi scattered/terpisah-pisah atau tumpang tindih. Bahkan memungkinkan penelitian moluska Indonesia baik dalam pengungkapan keanekaragaman hayati, budidaya dan pemanfaatannya menjadi lebih fokus dan solid,” jelas Ayu.
Meskipun telah menemukan 22 spesies moluska, Ayu memandang riset moluska Indonesia masih memiliki banyak tantangan. Moluska seringkali ditempatkan sebagai neglected, bahkan underestimated species. Padahal keanekaragaman hayati dan komoditinya sangat besar untuk dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. “Tantangan terberat adalah perlunya upaya untuk memasyarakatkan pengetahuan tentang moluska Indonesia baik yang hidup di laut, air tawar, dan di darat. Hal ini termasuk keanekaragaman hayati, konservasi, dan potensi pemanfaatannya,” ungkap Ayu.
Ayu berharap dengan berhimpunnya para peneliti, akademisi, praktisi dan birokrat di MMI, diharapkan riset-riset terkait moluska baik dari pengungkapan keanekaragaman hayati, konservasi, budidaya hingga pemanfaatan yang berkelanjutan dapat lebih terintegrasi melalui kolaborasi. Harapan lainnya adalah adanya pangkalan data tentang moluska dan sumber daya manusia yang berkecimpung dalam moluska, serta diseminasi informasi tentang moluska yang lebih meluas. (sa,win/ ed; Sl).