-
Published: 06 August 2020
-
Last Updated: 06 August 2020
Cibinong, Humas LIPI. Marasmius adalah salah satu marga dari jamur yang sebarannya sangat kosmopolitan terutama di negara-negara yang memiliki hutan tropis di dunia tidak terkecuali Indonesia. “Marasmius berasal dari bahasa Yunani yaitu Marasmos yang memiliki arti “mengering” dan menunjukan kemampuan jamur Marasmius untuk kembali tumbuh pada saat kondisi kelembaban lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Marasmius sendiri biasanya tumbuh pada serasah atau kayu sehingga dapat dengan mudah ditemukan,” terang Dr. Atik Retnowati salah seorang peneliti jamur dari Pusat Penelitian Biologi LIPI pada acara webinar Mikoina bertajuk “Marasmius di Indonesia”, Rabu, 5 Agustus 2020.
“Jamur Marasmius berbeda dengan jamur yang lainnya karena jamur ini memiliki waktu hidup yang panjang jadi tidak mudah membusuk seperti jamur pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh karakter yang dilmilikinya dimana pada saat suhu tinggi jamur ini akan mengering dan apabila kelembaban cukup tinggi maka Marasmius akan segar kembali sehingga akhirnya mampu menghasilkan spora,” tutur Atik.
Dirinya menyampaikan bahwa. “Marasmius memiliki badan buah yang sangat kecil, diameter tudung buah bervariasi dimana diameter tudung buah terkecil hanya 1 mm dan yang paling besar dapat mencapai 10 cm. Ukuran tudung buah yang paling besar hanya terdapat beberapa jenis saja dari 1 seksi yang ada di marasmius,” terangnya. “Seksi menunjukan klasifikasi yang berada dibawah marga, seksi merupakan kunci untuk melakukan identifikasi pada Marasmius,” imbuh Atik.
“Apabila dilihat dari fungsi ekologinya hampir semua jenis Marasmius adalah saprotrof atau organisme pengurai dimana Marasmius akan memanfaatkan energi dari hasil penguraian bahan organik sisa makhluk hidup akan tetapi ada beberapa jenis yang ternyata berfungsi sebagai parasit seperti M. Crinis-equi dan M. Oreades. Selain sebagai parasit, Marasmius Oreades memiliki kelebihan karena dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai jamur pangan. M. Crinis-equi memiliki ukuran tudung buah 1-4 mm, biasanya jenis ini tumbuh dengan menempel pada daun atau ranting pohon dan merupakan parasit yang biasa menginfeksi tanaman komersial seperti kakao, teh dan karet,” rinci Atik.
Berdasar penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dilihat dari fungsi ekologi diketahui bahwa tidak ada satupun Marasmius yang berfungsi sebagai ektomikoriza yaitu jamur yang mampu bersimbiosis mutualistik dengan akar tanaman, simbiosis ini akan menyebabkan semakin luasnya jangkauan tanaman dalam menyerap unsur hara.
Atik menyampaikan bahwa karakter morfologi Marasmius dapat dibedakan menjadi makroskopis dan mikroskopis. “Karakter makroskopis yang hanya ditemukan di marasmius dan tidak ditemukan dimarga yang lain adalah hygrophanous yaitu terjadinya perubahan warna tudung buah akibat hilangnya kadar air pada saat kondisi kering, adanya papilla yaitu seperti dot kecil yang berada dipusat tudung buah, memiliki lamella dan adanya rhizomorphs yang membantu marasmus untuk menyerap nutrisi dan air sedangkan karakter mikroskopik dicirikan dengan spora yang berwarna transparan dengan dinding yang tipis dan tidak memiliki ornamentasi sama sekali,” jelas Atik.
“Pendeskripsian jenis baru dari Marasmius terus dilakukan di Indonesia dan hampir 30% jenis yang dideskripsikan dari daerah yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya diidentifikasi sebagai jenis baru. Terdapat 37 spesies yang dideskripsikan dari Jawa dan Bali, dari semua itu diidentifikasi 12 spesiesnya adalah jenis baru diantaranya adalah jamur Coklatus,” papar Atik.
Atik menerangkan bahwa sekitar 800 jenis Marasmius telah ditemukan didunia dan terdapat hampir 100 jenis berada di indonesia. “Sampai saat ini sudah 75 jenis Marasmius yang telah dipublikasikan di Indonesia dimana 62 jenis ditemukan di Jawa, 8 jenis di Kalimantan, 3 jenis di Sumatera dan pulau lainnya. Pulau Jawa masih mendominasi jumlah penemuan jenis Marasmius karena banyaknya eksplorasi yang dilakukan di Pulau Jawa jika dibandingkan pulau lainnnya di Indonesia,” tutup Atik. (eb ed sl)