-
Published: 08 March 2021
-
Created: 10 March 2021
Cibinong, Humas LIPI. Kembali, dunia ornithologi dikejutkan dengan penemuan burung Pelanduk Kalimantan yang diyakini telah “hilang” 172 tahun yang lalu. Burung bernama latin Malacocincla perspicillata (Black-Browed Babbler) ditemukan secara tidak sengaja oleh dua warga Kalimantan Selatan bernama Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan, Oktober lalu. Penemuan ini sudah dipublikasikan oleh Tim yang terdiri atas anggota masyarakat, pengamat, peneliti dan staff KLHK di jurnal BirdingASIA 34 (2020).
“Temuan ini merupakan temuan yang luar biasa. Apresiasi perlu diberikan kepada tim karena telah membuka tabir misteri spesies Malacocincla perspicillata dan menambah pengetahuan, khususnya bagi dunia ornitonitologi,” ujar Tri Haryoko, Peneliti Ornitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Secara taksonomi Tri menjelaskan diskripsi pertama burung pelanduk ini dilakukan oleh Charles Lucien Bonaparte pada tahun 1850 dengan nama Cacopitta perspicillata.Sebagai bahan rujukan spesimen Pelanduk Kalimantan ini disimpan di Naturalis Biodiversity Center, Belanda tahun 1940an yang dikoleksi oleh Carl A.L.M. Schwaner. “ Burung kicauan ini memiliki beberapa nama, namanya seolah-olah berbeda, namun merupakan jenis yang sama, yaitu Trichastoma perspicillatum, Turdinus perspicillatus dan bahkan jenis ini kadang dianggap sebagai anak jenis dari Malacocincla sepiaria (Pelanduk Semak/Horsfiedl’s Babbler),” imbuh Tri.
Spesies ini termasuk dalam famili Pellorneidae. Berukuran sekitar 15-16 cm, memiliki mahkota berwarna coklat dibatasi oleh garis mata hitam lebar meluas melintasi malar ke tengkuk dan leher. Bagian tubuh atasnya bewarna coklat, sedangkan bagian dada bewarna keabu-abuan dengan goresan halus putih dan memiliki ekor yang pendek.
Burung endemik ini sebarannya di sekitar Martapura, Kalimantan Selatan, penghuni hutan dataran rendah dan memakan invertebrata kecil.
Pelanduk Kalimantan sampai saat ini belum termasuk dalam daftar jenis burung yang dilindungi dalam Permen LHK No P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Kategori Status Konservasi dalam IUCN Redlist termasuk dalam kategori Data Deficient (Kurang Data), dan burung ini termasuk dalam kategori jenis Non Appendik CITES.
Saat ini Indonesia tidak memiliki koleksi rujukan ilmiah Malacocincla perspicillata, satu-satunya rujukan ilmiah hanya ada di Naturalis Biodiversity Center, Netherlands Belanda. Sehingga ketika terjadi kebingungan dan kesulitan identifikasi berdasarkan panduan yang ada, maka konfirmasi jenis ini harus dilakukan dengan pembanding dari specimen yang ada di Belanda. Oleh karena itu sangat penting Indonesia juga memiliki rujukan ilmiah Malacocincla perspicillata untuk kepentingan identifikasi dan mempelajari jenis ini
Sifat spesies yang tidak mencolok menjadikan burung ini kurang teramati oleh pengamat burung, dan kurangnya survei lapangan menjadikan banyak informasi yang belum terungkap. “Informasi yang kita miliki masih sangat terbatas dan perlu diungkap lebih lanjut seperti aspek karakter jenis, ekologi dan fisiologisnya, yaitu meliputi genetika, perilaku, suara; populasi, sebaran, pakan, reproduksi dan perkembangbiakannya,” ujar Tri.
Tri menyadari permasalahan kurangnya data dan informasi pengungkapan spesies baru menjadi tantangan bersama dalam pengungkapan spesies. “Kita perlu meningkatkan peranan citizen science, dengan melibatkan masyarakat dalam pengumpulan, pengarsip, analisis,dan berbagi data keanekaragaman hayati untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Nantinya informasi tersebut perlu validasi oleh para ahli yang terkait. Wilayah Indonesia sangat luas, tingginya keanekaragaman burung dan keterbatasan SDM peneliti, memerlukan kolaboarsi bersama dengan instansi terkait dan melibatkan masyarakat yang concern terhadap pelestarian satwa,” jelas Tri.
Teguh Willy Nugroho, salah satu penulis makalah BirdingASIA dan juga staf Taman Nasional Sebangau di Kalimantan, dan anggota pendiri BW Galeatus juga memiliki pendapat yang sama bahwa penemuan luar biasa ini menunjukkan pentingnya jaringan masyarakat lokal, pengamat burung, dan ilmuwan profesional dalam mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati Indonesia,
Tak hanya itu, Tri juga berharap dengan kerlibatan Citizen Science akan meningkatkan kesadaran konservasi, kemudahan akses informasi dan membangun basisdata keanekaragaman hayati untukmengungkap jenis-jenis lainnya yang belum terungkap. “Untuk selanjutnya perlu ditindak lanjuti dengan upaya-upaya perlindungan dan penelitian lebih lanjut untuk aspek-aspek lainnya. Semoga spesies yang ditemukan oleh tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini bukan spesimen tunggal dan terakhir, namun masih bisa dijumpai jumlahnya yang banyak dan tetap lestari di alam,” tutup Tri. (sa/ed.tri)