-
Published: 24 June 2022
-
Last Updated: 24 June 2022
Cibinong, Humas BRIN. Wildlife crime secara umum diterjemahkan sebagai bentuk kejahatan dimana flora dan fauna menjadi korban karena dibunuh/diambil/dipanen tidak melalui prosedur atau hukum yang berlaku. “Ini merupakan salah satu ancaman utama bagi keanekaragaman hayati Indonesia,” ungkap Dr. drh. R. Taufiq Purna Nugraha, M.Si, Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan - Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), pada Serial Diskusi Penegakan Hukum SDA dengan tema “Penegakan Hukum Kejahatan Terhadap Satwa Liar dalam Lanskap Perekonomian Negara” melalui kanal Youtube Yayasan Auriga Nusantara , pada Kamis (23/6).
“Pada saat terjadi kejahatan satwa liar, ada beberapa kerugian yaitu kerugian pada individu satwa, biaya untuk rehabilitasi/reintroduksi/repatriasi, menurunkan populasi dan menurunkan peluang bertahan bagi spesies terancam punah, dampak terhadap ekosistem, kerugian nilai ilmiah, biaya pengawasan dan penegakan hukum dan merusak kepercayaan publik dan reputasi pemerintah,” terang Taufiq.
Dirinya juga mengungkapkan bahwa ada beberapa pendekatan valuasi kerugian pada kasus kejahatan satwa liar antara lain harga di pasar gelap, contohnya 42 juta rupiah untuk sisik trenggiling. Nilai baku: nilai dasar kerugian berdasarkan literatur contohnya 3 juta per hektar satwa yang terdampak. Ada juga Natural capital value: kuantifikasi dari nilai dan jasa lingkungan yang terdampak seperti sebagai penyebar biji sulit di kuantifikasi untuk banyak spesies. Mitigasi: biaya penanganan kasus rehabilitasi dan reintroduksi, dll. Biaya konservasi : biaya perlindungan habitat, rehabilitasi habitat, monitoring, outreach dll contohnya biaya monitoring spesies.
Taufiq menjelaskan contoh kasus anak orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), misalnya betina diambil usia sekitar dua tahun masih anak-anak, kemudian induknya dibunuh di hutan untuk dijual. Penjual adalah sindikat perdagangan satwa liar yang mendapatkan satwa tersebut dari pemburu lokal. Satwa ditangkap, kemudian disita dipindahkan ke fasilitas rehabilitasi yang dikelola oleh Non-Governmental Organization (NGO) untuk selanjutnya di reintroduksi. “Kalau kita hanya melihat dari harga marketnya harga satu orangutan ditingkat pemburu berkisar 13 juta rupiah dan saat masuk pasaran internasional seperti Eropa menjadi 45 juta rupiah.
“Pada saat satu orangutan ditangkap, terdapat banyak kerugian yang terjadi, terutama untuk keberlangsungan dari spesies ini dimana orangutan dengan susah payah kita ingin tingkatkan populasinya dan setiap tahun pemerintah selalu melakukan monitoring kenaikan populasi pada satwa-satwa prioritas, tetapi dengan seenaknya mengambil untuk diperjualbelikan. Selanjutnya kerugian berupa biaya untuk pemeliharaan jangka panjang, apabila orangutan tersebut masih hidup kita perlu biaya untuk pemeliharaan hingga pelepasliaran. Selain itu hal ini juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah,” jelas Taufiq.
Selanjutnya, Taufiq juga menyampaikan regulasi yang ada di UU No. 5 Tahun 1990, Pasal 40 ayat 2, yaitu barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 antara lain menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup serta pasal 31 ayat 3 dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp, 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Namun ini tidak sebanding dengan kerugian dan biaya yang akan dikeluarkan untuk penanganan orangutan.
Taufiq mengungkapkan, terdapat pendekatan lain untuk mitigasi kerugian akibat kejahatan pada satwa liar yang merupakan hasil kajian bersama dari Lancaster University, LIPI (BRIN) dan Auriga Indonesia, tentang pertanggungjawaban secara perdata. Pada kasus perdata yang ingin dicapai adalah restorative justice yaitu bagaimana dilakukan pendekatan untuk memulihkan kerusakan yang telah terjadi (akibat kejahatan pada satwa liar) Kembali atau mendekati kondisi semula. Contohnya apabila ada orangutan atau spesies apapun diambil dari alam, upaya terbaik yang bisa kita lakukan diantaranya dengan mengembalikan spesies tersebut ke alam atau pendekatan-pendekatan lain seperti restorasi habitat untuk meningkatkan populasi di alam.
“Pendekatan yang dilakukan undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tetapi sebagai parameter ambang batas digunakan indikator satwa terancam punah, karena kehilangan satu ekor saja akan sangat berdampak pada kelangsungan hidup spesies tersebut, ” ungkap Taufiq.
Di akhir diskusi, Taufiq mengungkapkan "Kejahatan hidupan liar menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi suatu bangsa tidak hanya kerugian yang dihitung berdasarkan harga pasar, kerugian dari upaya mitigasi dan konservasi yang dikeluarkan lebih besar dari gambaran nilai kejahatan hidupan liar selama ini. Pendekatan baru seperti tuntutan perdata pada kasus kejahatan hidupan liar dapat menjadi alternatif untuk mengganti kerugian sekaligus sebagai bentuk hukuman yang mencoba memperbaiki keadaan restorative justice,” pungkasnya.
Diskusi yang dipandu oleh Irene Margareth Romaria Pinondang, Mahasiswi Doctoral University of Kent ini dibuka oleh Dian Novianthi selaku Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK. Dua narasumber lainnya yang hadir adalah Dwi Nugroho Adhiasto seorang Counter Wildlife Trafficking Specialist dan Osmantri ‘Abeng’ dari Wildlife Crime Specialist dari WWF Indonesia Central Sumatera Program. (shf/ ed.sl)